Source : here |
Buat
gue, mengawali hari diiringi hujan itu merupakan berkah tersendiri dari Tuhan.
Bangun tidur, melihat ke luar jendela dan mendapati hujan
turun itu ada dua hal yang mungkin gue lakukan. Pertama, mengingat jadwal kuliah. Kedua, menarik selimut dan kembali melanjutkan perjalanan menuju alam mimpi ketika gue inget hari itu ngga ada mata kuliah pagi. Lain halnya kalo pagi itu ada jadwal kuliah. Pasti gue dengan semangat bak atlet habis minum dopping, pergi ke kampus tanpa manyun dan berkeluh-kesah.
turun itu ada dua hal yang mungkin gue lakukan. Pertama, mengingat jadwal kuliah. Kedua, menarik selimut dan kembali melanjutkan perjalanan menuju alam mimpi ketika gue inget hari itu ngga ada mata kuliah pagi. Lain halnya kalo pagi itu ada jadwal kuliah. Pasti gue dengan semangat bak atlet habis minum dopping, pergi ke kampus tanpa manyun dan berkeluh-kesah.
Seperti
pagi ini.
Mandi,
ganti baju, beresin buku-buku dan jurnal kuliah secepat gue bisa. Gradak-gruduk ke
meja makan menyambar sarapan, 5 suapan nasi goreng buatan nyokap, lalu bergegas
berangkat dengan mulut penuh dan masih mengunyah. Ransel dipunggung, termos
kopi di tangan kanan, dan payung di tangan kiri.
“Aku
pergi, Bu!” teriak gue sambil buru-buru membuka pintu, “Kisha! Makannya beresin
dulu! Jangan makan sambil jalan!!” sahut nyokap gue tergopoh-gopoh nyusul
di belakang sambil bawa-bawa piring nasi goreng.
“Yaa..I love you too...!”
cengir gue masih dengan mulut masih penuh, lalu berlalu dengan
suara gedubrak pagar di belakang gue. Setengah berlari gue menembus
gerimis pagi itu. Maunya sih sambil menyesap kopi, tapi setelah dipikir-pikir
kayanya gue ngga sejago itu. Lari sambil ngopi. Ide buruk.
Pagi
itu gue ngga kesiangan kok, malah masih ada waktu satu setengah jam dari jadwal
mata kuliah pertama. Gue hanya ingin menikmati hujan sepanjang perjalanan gue
ke kampus.
Hujan dan cowok itu.
Cowok
berambut ikal dan berantakan yang selalu berdiri dengan pandangan melamun
sambil memerhatikan tiap-tiap tetes hujan di halte itu.
Ya,
gue ingin menikmati hujan di pagi hari dengan berdiri di sebelahnya di halte
bus, memperhatikan punggungnya di dalam bus yang membawa kami menuju kampus, lalu berjalan beriringan melintasi jalanan yang tergenang air. Memenuhi memori
dengan suara kecipak air yang terinjak sepatu kami.
Tap.
Gue menjejakan kaki di
halte, lalu mengatur nafas yang memburu bak pria separuh baya melihat paha
gadis belia. Gue mengedarkan pandangan mencari sosok kurus dengan ransel
birunya. Ah, dia ada. Kai. Masih dengan rambutnya yang seperti ngga kenal
sisir, dia berdiri di ujung halte dengan tangan terjulur memainkan air hujan.
Jantung
gue kalo dipasangin speaker
kayanya cocok buat beat nge-dance, “duk, stak, stuk,
stak ,stuk, stak, stuk...” begitu ritmenya pas gue liat cowok itu
menoleh menyadari kehadiran gue dan memberi senyum simpulnya yang khas. Oh
Tuhan, terima kasih karena menciptakan sesuatu seindah ini, batin gue.
“Hai
Sha.. masuk pagi juga? Tumben ngga kesiangan?” sapanya sambil tetap berdiri
di tempatnya tadi. Dengan langkah ringan gue samperin dia sambil menahan diri
untuk ngga serta-merta ngasih dia cengiran lebar. Bukan karena gue mau sok cool, tapi lebih
karena khawatir masih ada cabe sisa nasi goreng nyelip di gigi gue.
“Hai
Kai.. Iya masuk pagi. Kalo pagi kan aku ngga pernah kesiangan, hehe. Telat itu
kalo kuliah siang. Males pergi, panas.” Gue berdiri di sebelahnya, menghirup
aroma colonge-nya yang khas. Wangi yang ngga bakal bisa gue lupain bahkan
sampai bertahun-tahun kedepan.
“Haha...aku
lupa, kamu kan cewek vampir. Ga suka matahari. Matahari membunuhmu...” sahutnya
sambil tersenyum geli. Datak jantung gue makin men-disko nih. “ Hehe.. tuh
tau..” cengir gue. Lalu sambil mengobrol kesana kemari dan sesekali menyesap
kopi, gue menyetel auto focus pandangan gue hanya pada sepasang
mata coklatnya dan senyum berlesung pipit yang menggemaskan. Sambil berharap
gue ngga meleleh dan meninggalkan jejak becek di lantai halte.
Sepertinya Tuhan memberi gue bonus selain hujan-Nya. Beruntungnya gue, ketika
bus datang ternyata masih menyisakan dua tempat duduk kosong di barisan
belakang. Mungkin orang-orang ngga se-bersemangat gue dalam menghadang hari
berhujan, makanya bus yang biasa penuh sesak, berbau keringat dan asap rokok
itu kali ini sedikit lengang.
Kai
memilih duduk dekat jendela. Gue mendudukan pantat di sebelahnya dan sedikit
bergidik dengan kehangatan tubuhnya yang menempel di lengan gue. Dalam hati gue
diam-diam membisikkan doa “Makasih Tuhan untuk
bangku kosongnya. Semoga setiap pagi Engkau turunkan hujan dan menyisakan
bangku ini hanya untukku dan makhluk ciptaan-Mu yang bernama Kai ini,
Amin”.
Ah,
hujan itu romansa.
***
Tulisanya Bagus.
BalasHapushttp://ngawurkarenabenar.wordpress.com/
Newbie baru belajar corat coret ^^
HapusMakasih udah berkunjung...
Hayang seuri pas bagian"..... Pria separuh baya melihat paha gadis belia...." kok asa geli2 gmn gitu weh perumpamaan lain tie xixixixix
Hapus*mommy ayu
Wkkkk... itu kan maksudnya nafas yg ngos2an gituu..kalo di komik2 mah keluar asep tea :D Perumpamaan yg terlintas dikepala cuma itu, hihihihi..
Hapus