Tampilkan postingan dengan label Flash Fiction. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Flash Fiction. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 Februari 2016

Nilima


"Nilima..."
Aku terisak lirih.

"Maafkan aku..."
Aku kembali mengucap mantra itu untuk yang ke sejuta kali. Mungkin.

Namun perih yang mengiris hatiku tak jua terobati. Katanya jika malaikat Izrail tengah mencabut nyawamu, rasanya seperti disayat ribuan pedang.

Bohong.
Hatiku rasanya seperti disayat jutaan sembilu, tapi Dia tak kunjung memanggilku pulang. Aku masih bernapas meskipun dalam setiap tarikannya kurasakan getir penyesalan. Seakan tak cukup, sengatan ingatan itu menambah sakitku.

Matanya biru. Makhluk mungil nan indah itu bermata biru ketika ia kulahirkan di sudut kamar mandi yang baunya lebih busuk dari kandang babi. Tapi aku bahkan tak peduli. Yang pertama kulihat adalah matanya yang berwarna sebiru senja.

Nilima. Kuputuskan menamaimu Nilima.

Sebuah keputusan yang bodoh. Memberimu nama adalah kesalahanku yang pertama.

Kau tidak menangis, Nilima. Kau hanya mengeluarkan bunyi berdeguk pelan. Kau tetap diam ketika kugigit putus tali ari-arimu. Sambil berharap ikatan batin kita ikut terputus bersamanya.

Tapi kemudian waktu aku mulai pening dan mual karena berkubang dalam genangan darahku sendiri, kau mulai bersuara. Kau merengek pelan. Aku panik! Buru-buru kau kugendong dan kujelali puting agar urung menjerit.

Kau kususui, Nilima. Dan itu adalah kesalahanku yang kedua.

Pikirku sederhana. Kuanggap air susu itu adalah hadiah kelahiranmu sekaligus ucapan perpisahanku. Kubiarkan kau menikmati perjamuan terakhirmu.

Oh, sayang. Mestinya aku tak memberimu setetes pun harapan. Mestinya aku tak menggendongmu sehingga kau mengecap kehangatan tubuhku. Mestinya aku sama sekali tak meninggalkan jejak dengan menyentuh tubuh mungilmu yang masih berlumur darah.

Ah, semua yang mestinya-mestinya tadi membuatku kembali dihujam pilu.

Tapi Nilima, biarlah aku disiksa kenangan dan terbunuh dalam rasa penyesalan, asalkan kau hidup dengan baik. Ingat, Nak. Jangan maafkan aku. Hidup sajalah, tapi jangan maafkan aku.




***




Tuhan...

Ketika Engkau membangunkan aku yang tengah terlelap di surga-Mu dan memberitahu bahwa Kau akan meniupkan rohku kedalam pelukan seorang malaikat, aku merasakan bahagia yang tak terperi.

Tuhan, aku ingat Engkau pernah menenangkanku waktu aku takut tak dapat lagi merasakan hangatnya dekapan-Mu. Engkau berkata aku akan mendapatkan gantinya nanti ketika aku berada dalam sesuatu yang Kau sebut rahim. Meskipun tadinya aku tak tahu seperti apa wujudnya, tapi aku mendapati disana benar hangat!

Tuhan, Engkau pun pernah berkata bahwa nanti ketika aku membuka mataku disebuah tempat yang Kau namai Bumi, aku akan disambut oleh sesosok malaikat. Katanya nama malaikat itu "Ibu". Ah, kemarin aku sungguh tak sabar ingin segera bertemu dengannya.

Tapi, Tuhan...
Bolehkan aku bertanya lagi?

Apa Engkau yakin telah mengirimku ke tempat yang benar? Aku sudah membuka mataku, tapi malaikat itu pergi. Aku takut, Tuhan. Mengapa disini dingin? Dan aku masih haus. Sangat haus.

Oh Tuhan, bolehkah aku pulang kembali ke pelukan-Mu? Bolehkah? Aku berjanji tidak akan nakal. 
Aku rindu Engkau... 

Aku tak mau berlama-lama disini Tuhan.
Cepat ajak aku kembali pulang.

.....

Tapi, mm.. Tuhanku yang Pengasih, tolong jangan marah padanya ya. Katakan padanya aku memaafkannya.




*terinspirasi dari kisah nyata dan sudah dimodifikasi*

Kamis, 13 Agustus 2015

Kau Percaya Cinta?

Aku dan sahabatku duduk berseberangan di meja makan di apartemenku. Sengaja ia kuundang untuk makan malam hari ini. Raut wajahnya menunjukkan perasaan bersalah yang tak dapat ia sembunyikan. Aku tersenyum semanis mungkin padanya.

"Mirae, cobalah masakan buatanku! Susah payah aku memasakkannya untukmu, kau malah diam membisu seperti itu! Kau ini seperti tak pernah makan masakanku saja!" aku merengut kesal karena ia hanya bermain-main saja dengan makanannya.

Mirae masih terdiam. Ia menunduk dan terlihat sedikit gelisah.

Rabu, 12 Agustus 2015

Aku Tak Berbagi

Jun-ah... Aku pernah berkata padamu kan? Untuk urusan cinta, aku tak berbagi. Kau tahu, aku tidak pernah memberikan hatiku pada pria selain dirimu. Kau tahu, pandanganku hanya tertuju padamu selama ini. Aku memberikan segalanya hanya untukmu.

Jun-ah... Aku sangat menyesal hubungan kita berakhir seperti ini. Tapi aku tahu, kau pasti mengerti bahwa aku takkan mungkin menyakitimu jika kau tidak menyakitiku terlebih dahulu. Tak terbersitkah dalam pikiranmu ketika kau memutuskan untuk menduakan cintamu, aku akan sangat tersakiti?

Jun-ah... Ketika aku menyakitimu seperti ini, aku merasakan sakit seribu kali lebih banyak dari yang kau rasakan. Aku menangis hingga air mataku mengering dan berganti darah. Percayalah Jun-ah, sakitku lebih banyak dari sakitmu.

Senin, 10 Agustus 2015

Putus!

“PERGIIIIIII....!!!! Aku sudah bilang kalau kita putus!! Iya, kita itu AKU DAN KAU!! Mengapa kau tak mau mengerti juga??” jeritku putus asa dari dalam kamar. 

Suara gedoran dipintu depan rumah perlahan melemah, lalu senyap.

Apa dia sudah pergi? Apa dia mau mengerti keputusan sepihakku ? Ya, Tuhan, mengapa begitu susah melepaskan diri dari dirinya? Aku berdiri di dekat jendela dalam kamar yang gelap. Aku tak berani membuka tirainya. Tidak juga untuk menyalakan lampu. 

“PING!” ponselku bergetar. Gemetar, kubaca pesan yang masuk.

Rabu, 29 Juli 2015

Kau Tahu?

Kau tahu? Menurutku isi kepalaku lebih menarik daripada dunia yang pandai beretorika. Hatiku, bisa kupastikan lebih luas dan dalam dari samudera logikamu.

Kau tahu? Buatku realita yang kuhadapi setiap detik itu menjemukan. Yang kusaksikan di alam sadar adalah jenuh dan penat. Bisa saja aku mati bosan. 

Kau tahu? Otak dan hatiku ini milikku seorang. Dia secara khusus dan spesifik menaruhnya dalam ragaku. Jadi apapun yang berkecamuk di dalamnya, kau, iya kau, tak patut mencelanya. Intervensi dan interupsi itu hanya berlaku di ruang sidang paripurna. Di sini, kau tak berhak.

Kau tahu? Semua yang kulakukan dan menurutmu tidak berguna itu semata-mata adalah upaya demi membuatku bertahan berdiri di sini, sambil menggenggam erat secuil harapan yang Ia titipkan. Berusaha tak membuatnya melayang seperti benih dandelion tertiup angin.

Kau tahu? Gula-gula yang disukai pemimpi bodoh sepertiku, sesungguhnya adalah penawar dari getirnya kenyataan yang sering harus kukecap. Kau, lawanlah pahitmu dengan caramu. Terserah. Tapi menjauhlah dari toples manisanku.

Kau tahu? Kau harus melihat tepi batasnya. Tetap di tempatmu, maka akupun akan tetap di tempatku. Aku akan diam dan kulafalkan puji syukur pada-Nya atas diammu. Ingat? Mata untuk mata.

Senin, 17 November 2014

Jumat, 14 November 2014

Senin, 10 November 2014

I Found You in Tokyo


"Uh, Bandara Narita! Gue pengen urusan kantor cepet beres! Oh,betapa gue pengen ke Seoul..!"

Pikir gue kesel begitu tiba di Tokyo sore itu. Impian gue sebenernya pengen ke Seoul, tapi tugas kantor malah bikin gue terdampar disini. Gue sendirian pula! General Manager yang harusnya pergi bareng gue mendadak batal, katanya dia diare parah habis makan seblak ceker! Oh Tuhan...GM macam apa dia?

Kamis, 19 Juni 2014

Yang Terserak dan Tertuang

"Ketika sudah terpojok oleh ulahnya sendiri,ia lantas berlagak jadi korban... Ketika ia rasa berdiri di warna merah sudah membahayakan, ia melompat ke abu-abu... Seolah-olah ia tidak pernah merah, seolah-olah ia tidak pernah lantang. Buatku hitam ya hitam. Pantang menjilat ludah sendiri... "
18 Juni 2014